Minggu, 26 Januari 2014

Pemikiran Teologi Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Taimiyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas aliran Mu’tazilah mencapai puncaknya, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah mahluk”. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf.
 Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran teologi Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian Teologi?.
2.         Siapakah Imam Ahmad bin Hambali dan Imam Ibnu Taimiyah?
3.         Bagaimana Pemikiran Teologi Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Taimiyah?

C.    Tujuan Pembahasan
1.         Memahami arti dan maksud dari Teologi.
2.         Mengenali riwayat hidup Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Taimiyah.
3.         Memahami tentang pemikiran teologi Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Taimiyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teologi
Kata Teologi menurut Rozak dan Rohison (2012) istilah ini berasal dari bahasa Inggris, theology. Dan mengutip dari William L. Reese (l. 1921 M) mendefinisikanya dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham (1287-1347), Reese lebih jauh mengatakan , Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi merupakan disiplin ilmu yang membicarakan tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).
Kemudian A. Hanafi (1992) menambahkan bahwa teologi berasal dari bahasa Yunani “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu. Lapangan pembahasan teologi berfokus pada masalah kepercayaan-kepercayaan dalam agama. Ini berarti bahwa masalah iman yang menjadi bahasan utama dalam teologi yang tentunya terkait juga dengan masalah akidah.
Dari pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa teologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani. Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu. Jadi, teologi berarti “Ilmu tentang Tuhan atau Ilmu Ketuhanan”.
Secara terminologi, teologi adalah: suatu disiplin ilmu yang secara kongkrit membicarakan tentang Ketuhanan, dan pemikiran sistematis yang berhubungan dengan hakikat alam semesta.

B.     Riwayat Singkat Hidup Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Taimiyah
1.      Riwayat Singkat Hidup Imam Ahmad Bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama Imam Hambali karena menjadi pendiri madzhab Hambali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qosit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin As’ad bin Rabi’al Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu dengan keluarga nenek moyangnya nabi Muhammad SAW (Rozak & Rohison, 2012).
Di antara murid-murid Imam Ahmad adalah Ibnu Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, Abu Zuhrah al-Damsyiqi, Abu Zuhrah al-Razi, Ibnu Abi al-Dunya, Abu Bakar al-Asram, Hambal bin Ishaq al-Syaibani, Shalih, dan Abdullah. Kedua nama yang disebutkan terakhir merupakan putranya.[1]
2.      Riwayat Singkat Hidup Imam Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya (Ahmadi Thoha, 1982).
Dikatakan oleh Rozak dan Rohison (2012:139) bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits, mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

C.    Pemikiran Teologi Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Taimiyah
1.    Pemikiran Teologi Imam Ahmad bin Hambal
a.    Ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Imam Ahmad bin Hambal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan takwil, terutama yang berkaitan dengan sifat-saifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat: “Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha: 50). Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya”.
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya” (Rozak & Rohison, 2012:137).
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b.    Tentang Status Al-Qur’an
 Ibnu Hambal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah (Rozak & Rohison, 2012:138).
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal (Harun Nasution, 1986:62-63). Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.
2.      Pemikiran Teologi Imam Ibnu Taimiyah
 Berikut ini pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah yang di ungkapkan oleh A. Yusuf (1993) dan juga Rozak dan Rohison (2012), yaitu:
a. Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
2. Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c. Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Berdasarkan ulasan di atas Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
BAB III
PENUTUP
A.       Simpulan
1.      Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.      Kemudian ulama lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

B.            Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, dimana kami pun sadar bahwasannya dalam mengemban amanat ini tidaklah luput dari kesalahan dan kekurangan sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah Azza wa-Jalla, sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri.





DAFTAR PUSTAKA



Thoha, Ahmadi. 1982.  Ibnu Taimiyah: Hidup dan Pemikiranya, Surabaya: Bina Ilmu.
Madzkur, Ibrahim. 1995.  Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rohison. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.


1 komentar:

  1. Terlalu gegabah menagmbil kesimpulan atas dasar pemikiran pemakalah sendiri,pembenaran pendapat pribadi dari pada pendapat para ulama.
    Menganggap Ulama salah tidak melihat ilmu pembuat makalah yang belum seberapa.

    BalasHapus