Kamis, 21 November 2013

Ilmu Jarh wa at-Ta’dil (Studi al-Hadits)



ILMU JARH WA TA’DIL
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al Hadits








 






Dosen Pengampu
Nur Anas, M.Pd.I






Disususn Oleh:
Rahmat Arifin




FAKULTAS TARBIYAH PAI IB
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Ilmu Jarh wa at-Ta’dil” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah STUDI AL HADITS serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Nur Anas M.Pd.I selaku dosen mata kuliah STUDI AL AL HADITS  serta semua pihak yang membantu dalam penyelesaian makalah ini baik langsung maupun tidak langsung. Makalah ini berisi tentang pengertian dan proses pemeliharaan al qur’an.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah azza wa’jala sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi amin ya Rabbal ‘alamiin.




                                                                               Ponorogo, 07 Oktober 2013
                                                                                                     
                                                                                                     
                                                                                                Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah Al Qur’an merupakan sebuah ketetapan dasar ajaran Islam. Berhujjah dengan haditst shahih jelas tidak diragukan lagi. Namun bagaimana mengetahui keshahihan suatu hadits merupakan sebuah tantangan bagi seorang penuntut ilmu untuk lebih dalam mengkajinya.
 Untuk meneliti suatu keshahihan hadits dalam cabang ilmu hadits di bahas sebuah bab  yaitu “Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil”.
            Tulisan ini berusaha membahas tentang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil,  kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian Jarh wa at-Ta’dil?.
2.    Apa Saja Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan Ta’dil?.
3.    Bagaimana Ketentuan Jarh wa Ta’dil?.
4.    Bagaimana Tinkatan Dan Lafadz Lafadz Jarh?
5.    Bagaimana Seluk beluk Pertentangan Jarh wa Ta’dil?.

C.  Tujuan Pembahasan
1.    membahas tentang pengertian ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
2.    Dasar Landasan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
3.    Ketentuan Ketentuan Jarh wa Ta’dil.
4.    Tinkatan Dan Lafadz Lafadz Jarh.
5.    Seluk beluk Pertentangan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.


BAB II
 PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL
Pengertian Al-Jarh:
        Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohu jarhan, yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “jaroha al-hakim asy-syaahid” yang berarti “hakim itu menolak saksi”.
       Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: Terlihatnya suatu sifat rawi yang dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau menyebabkan riwayatnya tertolak”.[1]
Pengertian at-Ta’diil:
       ‘Adl secara bahasa berarti: apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima kesaksiannya. Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah: yang tidak nampak sifat sifat merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan pengabaran darinya. Sementara Ta’diil adalah: mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah) sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya.[2]
Jadi, yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal para perawi dalam bidang mengkritik keaiban dan memuji keadilannya dengan norma-norma tertentu, sehingga dapat ditentukan siapa diantara para rawi itu yang diterima atau ditolak periwayatannya.[3]
B. DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
       Para Ulama menyatakan legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak memandangnya sebagai ghibah yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil diantaranya:
Pertama: Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(QS. Al-Hujurat: 6).
Kedua: Rasulullah SAW bersabda tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah binti Qais bertanya kepada beliau perihal keduanya yang sama-sama meminangnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR Muslim).
       Selain itu, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena itulah, para ulama membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at Islamiyah, bukan mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[4]

C. KETENTUAN JARH WA TA’DIIL
Berikut Beberapa Ketentuan Dalam Jarh dan Ta’diil, antara lain:
1.    Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya.
2.    Cermat dalam melakukan penelitian. Misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.    Tetap menjaga batas batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan: “la yakun tastaqiimu lisan” artinyakurang istiqomah dalam berbicara” .
4.    Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih.
Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya”.
Syarat Syarat Bagi Orang Yang Menjarh dan Orang Yang Menta’dil, di antaranya yaitu:
1.      Bertaqwa, waro, jujur dan berilmu.
2.      Menjahui fanatik golongan.
3.      Mengetahui sebab-sebab untuk menjarhkan dan menta’dilkan.
4.      Mengetahui tata bahasa arab (nahwu, sorf, bayan, ma’ani, badi’)
Cara mengetahui sifat ‘adalahnya seorang perawi menurut Ajaj al-Khatib ada dua jalan:[5]
Pertama: Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Kedua: Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
 Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.

D. TINGKATAN DAN LAFADZ LAFAZD JARH DAN TA’DIL
Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat  ‘adalah sekalipun, tidak berarti mereka pada tingkatan yang sama. Karena itu terdapat istilah dan lafadz khusus dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi.
1)       Tingkatan tingkatan lafadz al-ta’diil:
1.    Tingkatan Pertama: Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh
     haditsnya), autsaqo naas (paling terpercaya), adhbatu naas (paling kuat), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama. Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat hafalannya).
2.    Tingkatan Kedua: Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifaf sifat adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh (benar benar tsiqoh), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3.    Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah, tsabit.
4.    Tingkatan Keempat: Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq, ma’muun.
5.    Tingkatan Kelima: Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas (orang meriwayatkan darinya).
6.    Tingkatan Keenam: Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits, yuktabu haditsuhu (tercatat haditsnya).
2)     Hukum Tingkatan Ta’diil:
1.    Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
2.    Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
3.    Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa dituliskan untuk i’tibaar semata.
3)  Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1.      Tingkatan Pertama: Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool (dia banyak dibincangkan), layyinul hadits (lemah haditsnya).
2.       Tingkatan Kedua: Menggunakan lafad yang menunjukan bahwa perawi itu lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif  (dia lemah), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul (dia tidak dikenal).
3.      Tingkatan Ketiga: Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang digunakan: la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah (tidak boleh meriwayatkan).
4.      Tingkatan Keempat: Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil kadzib, (dia tertuduh sebagai pendusta) atau muttaham bil wad’iy (dia dianggap pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak terpercaya).
5.      Tingkatan Kelima: Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang pendusta dan pemalsu. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits).
6.      Tingkatan Keenam: Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata: akdzabu nnas (paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).

4)  Hukum Tingkatan Jarh:
1.             untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
2.             Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu dianggap ada.

E. PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL
  Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Pada suatu kondisi hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada sebagai berikut:
1     Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2     Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3     Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4     Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ujaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
 Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.







BAB III:
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.         Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan sebuah ilmu yang membahas hal ihwal rowi dengan menyoroti keadilan dan kejelekanya, sehingga dengan demikian periwayatanya dapat diterima atau ditolak.
2.        Ilmu Jarh wa Ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mangategorikannya sebagai nasehal dalam agama.
3.        Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk mengetahui dan menetapkan apakah periwayatan seorang rowi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali dan untuk menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun yang dhoif.
4.        ketentuan dalam jarh dan ta’dil haruslah bersikap jujur, cermat, sopan dan global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih.
5.        Para ahli ilmu hadits mempertimbangkan suatu periwayatan hadits yang di tajrih maupun yang di ta’dil dengan beberapa tingkatan kelayakan hadits.
B.     Saran
Apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil menjarhkan seorang rowi, kita janganlah langsung menerima pentajrihan tersebut sebelum menelitinya, bukanlah soal yang mudah karena menerima perkataannya sebelum ada persetujuan dari ahli yang lainya tidak termasuk dalam prosedur.
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan, dimana penulis pun sadar bahwasannya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.






DAFTAR PUSTAKA



1.      Suyuthi (Al), Imam. At Tadrib Ar Rawi fi Syarh Taqrib An Nawawi, al-Madinah al-Munawwarah: Al-Maktabah Al-Ilmiyah, 1972.
2.      Mas’udi (Al), Hasan, Hafidz, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtholahi al-Haditsi (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah).
3.      Qaththon (Al), Syaikh Manna’,  Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009.
4.      Al-Khatib, Ajaj. Pokok-Pokok Ilmu Hadits, , Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.



[1] Asy Syaik Manna’ al-Qoththan, Terjemah Mabahits fi Ulum Al-Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 82.
[2] Asy Syaik Manna’ al-Qoththan, Terjemah Mabahits fi Ulum Al-Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 82.
[3]  Drs. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, op. cit,  65.

[4] Ajaj Al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 261
[5] Ajaj Al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar