ILMU JARH WA TA’DIL
Makalah Ini
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al Hadits
Dosen Pengampu
Nur Anas, M.Pd.I
Disususn Oleh:
Rahmat Arifin
FAKULTAS TARBIYAH PAI IB
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta inayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Ilmu Jarh wa
at-Ta’dil” yang sederhana ini dapat terselesaikan
tidak kurang daripada waktunya.
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu
dari sekian kewajiban mata kuliah STUDI AL HADITS
serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak
Nur Anas
M.Pd.I
selaku dosen mata kuliah STUDI AL AL HADITS
serta semua pihak yang
membantu dalam penyelesaian makalah ini baik langsung maupun tidak langsung. Makalah
ini berisi tentang pengertian dan proses pemeliharaan al qur’an.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan
dimana penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah manusia biasa yang tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan, sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah
azza wa’jala sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan
bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi amin ya Rabbal ‘alamiin.
Ponorogo,
07 Oktober 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah Al Qur’an
merupakan sebuah ketetapan dasar ajaran Islam. Berhujjah dengan haditst shahih
jelas tidak diragukan lagi. Namun bagaimana mengetahui keshahihan suatu hadits
merupakan sebuah tantangan bagi seorang penuntut ilmu untuk lebih dalam
mengkajinya.
Untuk meneliti suatu keshahihan hadits dalam cabang
ilmu hadits di bahas sebuah bab yaitu “Ilmu
al-Jarh wa at-Ta’dil”.
Tulisan
ini berusaha membahas tentang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu
al-Jarh wa at-Ta’dil, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ilmu al-Jarh wa
at-Ta’dil.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Jarh wa at-Ta’dil?.
2.
Apa Saja Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan Ta’dil?.
3.
Bagaimana Ketentuan Jarh wa Ta’dil?.
4.
Bagaimana Tinkatan Dan Lafadz Lafadz Jarh?
5. Bagaimana Seluk beluk Pertentangan Jarh wa
Ta’dil?.
C. Tujuan Pembahasan
1. membahas tentang pengertian ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
2. Dasar Landasan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
3. Ketentuan Ketentuan Jarh wa Ta’dil.
4. Tinkatan Dan Lafadz Lafadz Jarh.
5. Seluk beluk Pertentangan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL
Pengertian Al-Jarh:
Secara bahasa lafadz
al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha
yajrohu jarhan, yang berarti melukai sebagian
badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak
seperti dalam kalimat “jaroha al-hakim asy-syaahid” yang berarti “hakim itu
menolak saksi”.
Adapun
Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Terlihatnya suatu sifat rawi yang dapat merusak sifat
‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa apa yang
dapat menggugurkan riwayatnya atau menyebabkan riwayatnya tertolak”.[1]
Pengertian at-Ta’diil:
‘Adl secara bahasa berarti: apa yang tegak dalam hati yang
menunjukkan lurus dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa
diterima kesaksiannya. Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah: yang tidak
nampak sifat sifat merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima
kesaksian dan pengabaran darinya. Sementara Ta’diil adalah: mensifati perawi
dengan sifat-baik baik (tazkiyah) sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan
diterima riwayat darinya.[2]
Jadi, yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah
ilmu yang membahas tentang hal ihwal para perawi dalam bidang mengkritik
keaiban dan memuji keadilannya dengan norma-norma tertentu, sehingga dapat
ditentukan siapa diantara para rawi itu yang diterima atau ditolak periwayatannya.[3]
B. DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
Para Ulama menyatakan
legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak memandangnya sebagai ghibah
yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil diantaranya:
Pertama: Firman Allah dalam surat
al-Hujurat ayat 6: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(QS.
Al-Hujurat: 6).
Kedua: Rasulullah SAW bersabda
tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah binti Qais bertanya kepada beliau
perihal keduanya yang sama-sama meminangnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Adapun Abu Jahm, dia tidak
meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka
memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan
Usamah bin Zaid”. (HR Muslim).
Selain itu, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah
diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena
itulah, para ulama membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at
Islamiyah, bukan mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka
memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[4]
C. KETENTUAN JARH WA TA’DIIL
Berikut Beberapa Ketentuan Dalam Jarh dan Ta’diil, antara lain:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan
keadaan perawi secara apa adanya.
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Misalnya secara cermat
dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas batas kesopanan dalam melakukan Jarh
dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan
hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang
ulama cukup mengatakan: “la yakun tastaqiimu lisan” artinya“ kurang istiqomah dalam
berbicara” .
4. Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam
mentajrih.
Lazimnya para ulama
tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan
bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang.
Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak
disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab sebab
al-Jarhnya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima haditsnya
karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau
pendusta atau fasik dan lain sebagainya”.
Syarat Syarat Bagi Orang
Yang Menjarh dan Orang Yang Menta’dil, di antaranya yaitu:
1.
Bertaqwa, waro, jujur dan berilmu.
2.
Menjahui fanatik golongan.
3.
Mengetahui sebab-sebab untuk menjarhkan dan menta’dilkan.
4.
Mengetahui tata bahasa arab (nahwu, sorf, bayan, ma’ani, badi’)
Cara mengetahui sifat ‘adalahnya seorang perawi menurut Ajaj
al-Khatib ada dua jalan:[5]
Pertama: Melalui popularitas
keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal
sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak
perlu diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Kedua: Melalui tazkiyah, yaitu
adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum
dikenal keadilannya.
Adapun untuk
mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara mengetahui keadilan
seorang perawi yang disebutkan di atas.
D. TINGKATAN DAN LAFADZ LAFAZD JARH DAN TA’DIL
Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti mereka pada
tingkatan yang sama. Karena itu terdapat istilah dan lafadz khusus dikalangan
ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi.
1) Tingkatan tingkatan lafadz al-ta’diil:
1.
Tingkatan Pertama: Menunjukkan
rekomendasi secara mubalaghoh
haditsnya),
autsaqo naas (paling
terpercaya), adhbatu naas (paling kuat), dan menggunakan isim tafdhiil untuk
menunjukkan paling utama. Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang
yang paling kuat hafalannya).
2.
Tingkatan Kedua: Menggunakan lafadz yang
menunjukkan penguatan sifaf sifat adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan
misalnya: tsiqoh tsiqoh (benar benar tsiqoh), tsiqoh
ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3.
Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz
yang menunjukan sifat tsiqoh tapi tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah, tsabit.
4.
Tingkatan Keempat: Menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa perawi memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara
khusus.. Lafadz yang digunakan misalnya: la
ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq, ma’muun.
5.
Tingkatan Kelima: Menggunakan lafadz
yang samar atau tidak menunjukan bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz
yang digunakan misalnya: fulaan syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas (orang
meriwayatkan darinya).
6.
Tingkatan Keenam: Menggunakan lafadz
yang mengarah atau mendekati pada tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits, yuktabu haditsuhu (tercatat haditsnya).
2)
Hukum Tingkatan Ta’diil:
1. Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya
layak dijadikan hujjah meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
2. Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa
dijadikan hujjah, tapi haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat
ketelitian mereka dengan membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
3. Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan
haditsnya bisa dituliskan untuk i’tibaar semata.
3)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1.
Tingkatan Pertama: Mengemukakan sifat
perawi untuk menunjukkan kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan.
Lafadz yang digunakan misalnya : fiihi
dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi
maqool (dia banyak dibincangkan), layyinul hadits (lemah haditsnya).
2.
Tingkatan Kedua:
Menggunakan lafad yang menunjukan bahwa perawi itu lemah dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif (dia lemah), lahu manakiir (banyak yang
mengingkarinya), majhuul (dia tidak dikenal).
3.
Tingkatan Ketiga: Menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa hadits yang diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya
tidak dituliskan. Lafadz yang digunakan: la
yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits
darinya), la tahillu riwayah (tidak boleh meriwayatkan).
4.
Tingkatan Keempat: Menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan
misalnya: huwa muttaham bil kadzib, (dia tertuduh sebagai pendusta) atau muttaham bil wad’iy (dia
dianggap pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak terpercaya).
5.
Tingkatan Kelima: Menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa perawi memang pendusta dan pemalsu. Lafadz yang digunakan
misalnya: huwa kadzzab (dia pendusta), atau huwa
waddhoo’ (dia pemalsu hadits).
6.
Tingkatan Keenam: Menggunakan lafadz
yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan).
misalnya dengan kata-kata: akdzabu nnas (paling pendusta) , ruknul
kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi muntahal kadzib (dia
puncaknya kedustaan).
4)
Hukum Tingkatan Jarh:
1.
untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak
bisa dijadikan hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
2.
Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam,
maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak
perlu dianggap ada.
E. PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL
Diantara para ulama
terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang
satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Pada suatu kondisi
hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada sebagai berikut:
1 Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang
menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani
pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai
kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya
tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2 Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil
lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil
memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa
meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau
menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3 Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak
dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya,
dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai
diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4 Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih
dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan
menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya
ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ujaj al-Khatib
pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun
mutaakhirin.
Demikianlah sekilas
pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para
perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.
BAB III:
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ilmu Jarh wa Ta’dil
merupakan sebuah ilmu yang membahas hal ihwal rowi dengan menyoroti keadilan
dan kejelekanya, sehingga dengan demikian periwayatanya dapat diterima atau
ditolak.
2.
Ilmu Jarh wa Ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang, bahkan
para ulama mangategorikannya sebagai nasehal dalam agama.
3.
Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk mengetahui dan
menetapkan apakah periwayatan seorang rowi itu dapat diterima atau ditolak sama
sekali dan untuk menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun yang dhoif.
4.
ketentuan dalam jarh dan ta’dil haruslah bersikap jujur, cermat,
sopan dan global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih.
5.
Para ahli ilmu hadits mempertimbangkan suatu periwayatan hadits
yang di tajrih maupun yang di ta’dil dengan beberapa tingkatan kelayakan
hadits.
B. Saran
Apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil
menjarhkan seorang rowi, kita janganlah langsung menerima pentajrihan tersebut
sebelum menelitinya, bukanlah soal yang mudah karena menerima perkataannya
sebelum ada persetujuan dari ahli yang lainya tidak termasuk dalam prosedur.
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan, dimana
penulis pun sadar bahwasannya hanya manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suyuthi (Al), Imam. At Tadrib Ar Rawi fi Syarh Taqrib An Nawawi, al-Madinah al-Munawwarah: Al-Maktabah Al-Ilmiyah,
1972.
2.
Mas’udi (Al), Hasan, Hafidz, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtholahi
al-Haditsi (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah).
3.
Qaththon (Al), Syaikh Manna’, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009.
4.
Al-Khatib, Ajaj. Pokok-Pokok
Ilmu Hadits, , Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998.
[1] Asy Syaik Manna’
al-Qoththan, Terjemah Mabahits fi Ulum
Al-Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 82.
[2] Asy Syaik Manna’
al-Qoththan, Terjemah Mabahits fi Ulum
Al-Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 82.
[4] Ajaj Al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998), 261
[5] Ajaj Al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998), 233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar