Selasa, 19 November 2013

Makalah Filsafat Kebenaran



FILSAFAT KEBENARAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat






 




Dosen Pengampu:
Drs. H. Miseri, M.Ag


Disususn Oleh:
      1.    Rahmat Arifin
      2.    Nur Rohim


FAKULTAS TARBIYAH PAI IB
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2013



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam kehidupannya didunia, manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mencari  kebenaran. Karena, dengan  menemukan kebenaran  tersebut, manusia akan  mendapatkan ketenangan  dalam dirinya. Dalam pencarian  kebenaran itu manusia  menggunakan berbagai cara yang setiap individunya berbeda.
Kebenaran menurut setiap  individu dapat berbeda-beda,  tergantung sudut pandang dan  metode yang digunakan oleh  individu tersebut. Manusia  sebagai makhluk pencari  kebenaran dalam  perenungannya akan  menemukan tiga bentuk  eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat kebenaran.  Agama mengantarkan dalam  kebenaran, sedangkan ilmu pengetahua dan filsafat kebenaran  membuka jalan untuk mencari  kebenaran.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa itu ilmu pengetahuan dalam pengertian filsafat?.
2.      Keberadaan akal dalam filsafat?.
3.      Apa saja kaidah-kaidah filsafat kebenaran.
4.      Siapakah yang Maha Benar.

C.   Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui seluk beluk ilmu pengetahuan dalam fisafat.
2.      Kedudukan akal dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran.
3.      Mengupas kaidah-kaidah filsafat dalam menilah sebuah kebenaran.
4.      Hakikat kebenaran.


       BAB II
PEMBAHASAN
A.   Ilmu Pengetahuan
Orang yang tahu tentunya berbeda dengan orang yang tidak tahu. Ada beberapa jenis Untuk membedakan antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu, pertama berdasarkan tingkat pengetahuan orang tersebut, sedangkan yang kedua berdasarkan luasnya wilayah jangkauan sesuatu yang perlu diketahui.
Berdasarkan tingkat pengetahuan seseorang dapat dibagi menjadi empat kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang tahu ditahunya.
2. Orang yang tahu di tidak tahunya.
3. Orang yang tidak tahu di tahunya.
4. Orang yang tidak tahu di tidak tahunya.
Berdasarkan luasnya wilayah yang perlu diketahui, menurut Joseph Luth dan Harrington dalam Joharry Window dibagi sebagai berikut:
1. Saya tahu orang lain juga tahu. Yaitu pengetahuan masyarakat tentang sesuatu yang bukan lagi rahasia, kita sudah sama-sama tahu tentang hal itu.
2. Saya tahu tetapi orang lain tidak tahu. Yaitu rahasia-rahasia yang oleh seseorang dipertahankan, sehingga orang lain akan terus menerus memburunya untuk mencari tahu, seperti guru yang senantiasa menyembunyikan ilmunya.
3. Saya tahu tetapi orang lain tahu. Yaitu keterlenaan seseorang ketika sedang tidur, sedang lupa, sehingga orang lain dengan leluasa menilainya sedangkan dirinya sendiri tidak tahu apa-apa.
4. Saya tidak tahu dan orang lain juga tidak tahu. Yaitu tidak satu orang pun yang tahu, misalnya ide-ide yang hilang tidak mungkin ditanyakan orang lain karena yang tahu hanya dirinya sendiri dan kemudian terlupa karena tidak dicatat.
Pada prinsipnya tahu itu adalah terdiri dari sebagai berikut:
1. Tahu mengerjakan (know to do)
2. Tahu bagaimana (know how)
3. Tahu mengapa (know why).
Maka daripada itu munculah berbagai kajian pokok dalam pengetahuan, antara lain ontologi, epistomologi dan aksiologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang yang ada dan realitas. Dalam kaitanya dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang haqiqi dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?.[1]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu landasan epistomologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara dan sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.[2]
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiyah dengan norma-norma moral atau profesional?.[3]
Di dalam pengetahuan inilah dikenal berbagai ilmu, moral, dan seni yang secara keseluruhan disebut logika, etika dan estetika. Apa, bagaimana dan untuk apa kegunaan ilmu itu sendiri perlu dipertanyakan dalam keberadaan filsafat ilmu, apakah ilmu terpisah dengan moral dan terpisah pula dengan seni? Itu adalah pertanyaan berikutnya.
Ilmu adalah suatu objek ilmiyah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistimatis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenaranya, prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus,  dan dapat diajarkan dan dipelajari (Sondang P Siagan).
Ilmu adalah setiap kesatuan pengetahuan dimana masing-masing bagian bergantungan satu sama lain yang teratur secara pasti menurut azas-azas tertentu (Van Poelje). Ilmu sebagai kelompok pengetahuan teratur yang membahas suatu sasaran tertentu dengan pemusatan perhatian kepada satu atau segolongan masalah yang terdapat pada sasaran itu untuk memperoleh keterangan-keterangan yang mengandung kebenaran (The Liang Gie).
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuanya selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu pengetahuan selalu menuntut suatu subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu.[4]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa setiap ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi setiap pengetahuan belum tentu sebagai ilmu, kemudian syarat yang paling penting untuk keberadaan suatu pengetahuan yang disebut ilmu adalah adanya objek, baik objek material maupun objek formal. Pengetahuan yang bukan ilmu dapat saja berupa pengetahuan tentang seni dan pengetahuan tentang moral.

B.   Keberadaan Akal
Akal dipergunakan untuk mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menimbulkan logika yang menjadikan kita seorang intelektual (pada puncak kepakaran akal dikenal sebagai manusia ilmuwan) karena dapat membedakan mana yang salah atau benar secara tepat.
Logika berasal dari perkataan yunani, yaitu “logikos” yang berarti pengetahuan. Ilmu ataupun yang masuk akal yaitu sesuatu yang berhubungan dengan cara berfikir, dengan demikian logika merupakan suatu teknik yang mementingkan segi formal ilmu pengetahuan, karena dalam logika kita harus memperhatikan berbagai cara, aturan, teori dan metode agar suatu pernyataan dinyatakan sah.
Apabila ilmu itu bebas dari nilai disebut sekular, maka akan terjadi ketiraniaan karena nilai adalah gagasan berharga yang indah dan baik. Seorang ilmuwan sekular dapat saja berkata benar tetapi tidak baik dan indah. Contohnya ketika yang bersangkutan mengucapkan: “Agar tidak terkena penyakit kelamin (HIV) maka pakailah kondom saat bersetubuh dengan pelacur”.  Perkataan ini benar secara logika tetapi tidak baik secara moral dan tidak indah dalam seni bersosial. Kata-kata tersebut lebih tidak bermoral bila diucapkan oleh seorang menteri kesehatan, sebab antara logika, etika dan estetika harus berdialektika.

C.     Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan keburukan (ketidak benaran).
            Seorang murid Plato bernama Aristoteles, menjawab dengan pendapat bahwa kebenaran itu subjektif sifatnya, artinya kebenaran bagi seseorang belum tentu benar bagi yang lain, sehingga kemudian lahirlah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak.
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.[5]
            Yang  menjadi  permasalahan adalah bahwa  dalam menemukan kebenaran  tersebut ada perbedaan dari  setiap individu baik cara  maupun metode yang  digunakan. Sehingga muncul  sebuah perbedaan pula  mengenai kriteria kebenaran.
 Para pakar ilmu filsafat banyak menganggap benar bahwa pengetahuan terdiri:
       1. Pengetahuan Akal (Logika).
       2. Pengetahuan Budi (Etika).
       3. Pengetahuan Indrawi (Estetika).
       4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif).
       5. Pengetahuan Intuitif.
 Pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan budi disebut moral kemudian untuk membahasnya disebut etika, pengetahuan indrawi disebut seni yang kemudian di sebut estetika, pengetahuan kepercayaan disebut agama, tetapi dalam hal ini tidak boleh otoritatif karena agama tidak memaksa, agama harus diterima secara logika, etika dan estetika dan agama itu hanyalah islam yang terbukti kebenaranya, keindahanya dan kebaikanya. Jadi titik temu antara logika, etika dan estetika adalah islam, oleh karena itu pengetahuan intuatif kepada seseorang yang disebut nabi harus diuji terlebih dahulu seperti halnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarah filsafat, terdapat  beberapa kriteria teori tentang  kebenaran, antara lain:
1. Teori Kebenaran  Korespondensi (Teori  Persesuaian).
Kebenaran korespondesi  adalah kebenaran yang  bertumpu pada relitas objektif. [6]  Kesahihan korespondensi itu  memiliki pertalian yang erat  dengan kebenaran dan  kepastian indrawi. Sesuatu  dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,  kejadian, informasi) sesuai  dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[7] Contohnya: ada  seseorang yang mengatakan  bahwa Kabupaten Ponorogo itu  berada di Pulau Jawa.  Pernyataan itu benar karena  sesuai dengan kenyataan atau  realita yang ada. Tidak mungkin  Kabupaten Ponorogo di Pulau Sumatra,  Kalimantan atau bahkan Papua.
2. Teori Kebenaran  Konsistensi/Koherensi (Teori  Keteguhan).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu  pengetahuan, pendapat  kejadian, atau informasi) akan  diakui sahih atau dianggap  benar apabila memiliki  hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi  sebelumnya yang juga sahih  dan dapat dibuktikan secara  logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.[8] Sederhannya, pernyataan itu  dianggap benar jika sesuai  (koheren/konsisten) dengan  pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
 a. Setiap manusia pasti akan  mati. Lionel Messi adalah seorang  manusia. Jadi, Lionel Messi pasti akan mati.
b.  Seluruh mahasiswa  Fakultas Tarbiyah INSURI Ponorogo di wajibkan mengikuti perkuliahan Pengantar Filsafat. Cristiano Ronaldo adalah  mahasiswa Fakultas  Tarbiyah INSURI Ponorogo. Jadi,  Ronaldo  harus  mengikuti kegiatan  perkuliahan Pengantar Filsafat.
            3. Teori Kebenaran Pragmatis/ Inherensi.
Teori ini menyatakan bahwa suatu kebenaran hanya dalam salah satu konsekwensi saja. Kelemahan teori ini yaitu apabila kemungkinan-kemungkinannya luas, oleh karena itu harus dipilih kemungkinannya hanya dua dan saling bertolak belakang. Misalanya, semua yang teratur ada yang mengatur, dalam hal ini kita tidak membicarakan yang tidak teratur, dari uraian tersebut dapat difahami hanya ada dua kemungkinan yaitu ada yang mengatur atau tidak ada yang mengatur, apabila diterima salah satu maka yang lain dicoret karna bertolak belakang.
Contohnya lagi yaitu pengetahuan naik bis, kemudian akan turun dan berkata kepada kondektur “kiri-kiri”, kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, maka penumpang bis bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan semata-mata dilihat karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.[9]
            4. Teori Kebenaran Sintaksis.
            Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang di pakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari yang di syaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara filsuf bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakn tidak baku atau bukan kalimat. Seperti unkapan “semua korupsi”, ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.[10]
5. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia.
D.   Yang Maha Benar
Puncak kebenaran itu sendiri sebenarnya adalah Allah Yang Maha Benar (Al Haq), itulah sebabnya seseorang yang telah benar-benar menemukan kebenaran dan keyakinan dalam beragama akan senantiasa mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah) pada setiap penemuan ilmiyahnya, ataupun ketika selesai melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya karena penggabungan ilmu dan agama yang dalam perbincangan sehari-hari biasanya disebut dengan istilah Imtaq (Iman dan Taqwa).
Seorang ilmuwan sekular bisa saja berkata bahwa agar tidak terkena penyakit kelamin hendaklah memakai kondom bila bersetubuh dengan pelacur. Pada kesempatan lain keberadaan pejabat pemerintah juga dapat dinilai tidak baik tetapi benar menurut logika bila menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan, lalu bagaimana dengan pelaku yang memperkosa anak kecil kemudian menyilet wajahnya untuk kepuasan dan menghilangkan jejak, bagaimana dengan pelaku kejahatan yang memperkosa ibu kandungnya sendiri tanpa rasa kemanusiaan? Maka jawabanya hanyalah satu, yaitu MATI.





BAB III
PENUTUP
    
A.     Kesimpulan

1.                  Ilmu adalah setiap kesatuan pengetahuan dimana masing-masing bagian bergantungan satu sama lain yang teratur secara pasti menurut azas-azas tertentu. Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal sesuatu.
 Setiap ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi setiap pengetahuan belum tentu sebagai ilmu, syarat yang paling penting untuk keberadaan suatu pengetahuan yang disebut ilmu adalah adanya objek, baik objek material maupun objek formal.
2.                  Dalam ilmu pengetahuan terdapat berbagai sudut pandang untuk menilainya yang diantaranya adalah: berdasarkan tingkat pengetahuan, berdasarkan luasnya wilayah jangkauan dan prinsipnya. Sehingga lahirlah kajian pokok ilmu pengetahuan, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
3.                  Akal digunakan untuk mencari kebenaran sesuai ilmu pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat membedakan antara yang benar dan salah.
4.                  Pengetahuan akal disebut ilmu (logika), pengetahuan budi disebut moral (etika), pengetahuan indrawi disebut seni (estetika), sedangkan pengetahuan kepercayaan disebut agama. Dan untuk menilai sesuatu benar atau tidak maka dapat di lihat dari berbagai teori yang diantaranya adalah: Teori korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis dan performatif.
5.                  Dalam hidup ini, setiap manusia pastinya mencari kebenaran baik dalam bentuk majazi maupun yang haqiqi. Dan hakikat dari semua kebenaran itu adalah Allah SWT.

B.     Saran
Kebenaran menurut setiap  individu dapat berbeda-beda,  tergantung sudut pandang dan  metode yang digunakan oleh  individu tersebut. Manusia  sebagai makhluk pencari  kebenaran
dalam  perenungannya akan  menemukan tiga bentuk  eksistensi, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat kebenaran dan agama.  Dari uraian di atas dapat kita tarik sebuah tali simpul bahwasanya di dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran banyak hal-hal yang harus di perhatikan dan saling berkaitan.  Dengan demikian kita sebagai manusia dan khususnya sebagai mahasiswa sangatlah penting untuk lebih memahami, mengerti dan merasakan secara mendalam tentang sebuah kebenaran.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, dimana kami pun sadar bahwasannya dalam mengemban amanat ini tidaklah luput dari kesalahan dan kekurangan sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah Azza wa-Jalla, sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri.
Harapan kami, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini dapat ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi kami, pembaca, khususnya mahiswa-mahasiswi Fakulatas Tarbiyah PAI 1B INSURI Ponorogo, dan bagi seluruh pembaca sekalian. amin ya Rabbal ‘alamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Syafi’i, Inu kencana. Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama, 2004.
Suriasumantri, Jujun.  Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.


[1] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 151.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985) 34.
[3] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 152.
[4] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia,(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 26.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta: Gramedia, 1985), 235.
[6] Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan. 7.
[7] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. 122.
[8] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. 121.
[9] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 106.
[10] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 106.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar