FILSAFAT KEBENARAN
Makalah
Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat
Dosen Pengampu:
Drs. H. Miseri, M.Ag
Disususn Oleh:
1.
Rahmat Arifin
2.
Nur Rohim
FAKULTAS TARBIYAH PAI IB
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupannya didunia, manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mencari
kebenaran. Karena,
dengan menemukan kebenaran tersebut,
manusia akan mendapatkan ketenangan dalam
dirinya. Dalam pencarian kebenaran itu manusia menggunakan
berbagai cara yang setiap individunya
berbeda.
Kebenaran menurut setiap individu
dapat berbeda-beda, tergantung sudut
pandang dan metode yang digunakan oleh individu
tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari
kebenaran dalam perenungannya
akan menemukan tiga bentuk eksistensi,
yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat
kebenaran. Agama mengantarkan dalam kebenaran, sedangkan ilmu pengetahua dan
filsafat kebenaran membuka
jalan untuk mencari kebenaran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu ilmu pengetahuan dalam pengertian filsafat?.
2.
Keberadaan akal dalam filsafat?.
3.
Apa saja kaidah-kaidah filsafat kebenaran.
4.
Siapakah yang Maha Benar.
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui seluk beluk ilmu pengetahuan dalam fisafat.
2.
Kedudukan akal dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran.
3.
Mengupas kaidah-kaidah filsafat dalam menilah sebuah kebenaran.
4.
Hakikat kebenaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu Pengetahuan
Orang yang tahu tentunya berbeda dengan orang yang tidak
tahu. Ada beberapa jenis Untuk membedakan antara orang yang tahu dengan orang
yang tidak tahu, pertama berdasarkan tingkat pengetahuan orang tersebut,
sedangkan yang kedua berdasarkan luasnya wilayah jangkauan sesuatu yang perlu
diketahui.
Berdasarkan tingkat pengetahuan seseorang dapat dibagi menjadi empat
kriteria, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang tahu ditahunya.
2. Orang yang tahu di tidak tahunya.
3. Orang yang tidak tahu di tahunya.
4. Orang yang tidak tahu di tidak tahunya.
Berdasarkan luasnya wilayah yang perlu diketahui, menurut
Joseph Luth dan Harrington dalam Joharry
Window dibagi sebagai berikut:
1.
Saya tahu orang lain juga tahu. Yaitu pengetahuan masyarakat tentang sesuatu
yang bukan lagi rahasia, kita sudah sama-sama tahu tentang hal itu.
2.
Saya tahu tetapi orang lain tidak tahu. Yaitu rahasia-rahasia yang oleh
seseorang dipertahankan, sehingga orang lain akan terus menerus memburunya
untuk mencari tahu, seperti guru yang senantiasa menyembunyikan ilmunya.
3.
Saya tahu tetapi orang lain tahu. Yaitu keterlenaan seseorang ketika sedang
tidur, sedang lupa, sehingga orang lain dengan leluasa menilainya sedangkan
dirinya sendiri tidak tahu apa-apa.
4.
Saya tidak tahu dan orang lain juga tidak tahu. Yaitu tidak satu orang pun yang
tahu, misalnya ide-ide yang hilang tidak mungkin ditanyakan orang lain karena
yang tahu hanya dirinya sendiri dan kemudian terlupa karena tidak dicatat.
Pada prinsipnya tahu itu adalah terdiri dari sebagai berikut:
1. Tahu mengerjakan (know to do)
2. Tahu bagaimana (know how)
3. Tahu mengapa (know why).
Maka daripada itu munculah berbagai kajian pokok dalam
pengetahuan, antara lain ontologi, epistomologi dan aksiologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
yang ada dan realitas. Dalam kaitanya dengan ilmu, landasan ontologi
mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang
haqiqi dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan
pengetahuan?.[1]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
asal muasal, sumber, metode, struktur dan kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan
dengan ilmu landasan epistomologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara dan
sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.[2]
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik,
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiyah dengan norma-norma
moral atau profesional?.[3]
Di dalam pengetahuan inilah dikenal berbagai ilmu, moral,
dan seni yang secara keseluruhan disebut logika, etika dan estetika. Apa,
bagaimana dan untuk apa kegunaan ilmu itu sendiri perlu dipertanyakan dalam
keberadaan filsafat ilmu, apakah ilmu terpisah dengan moral dan terpisah pula
dengan seni? Itu adalah pertanyaan berikutnya.
Ilmu adalah suatu objek ilmiyah yang memiliki sekelompok
prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistimatis dan dilakukan berulang
kali, telah teruji kebenaranya, prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus, dan dapat diajarkan dan dipelajari (Sondang P
Siagan).
Ilmu adalah setiap kesatuan pengetahuan dimana
masing-masing bagian bergantungan satu sama lain yang teratur secara pasti
menurut azas-azas tertentu (Van Poelje). Ilmu sebagai kelompok pengetahuan teratur
yang membahas suatu sasaran tertentu dengan pemusatan perhatian kepada satu
atau segolongan masalah yang terdapat pada sasaran itu untuk memperoleh
keterangan-keterangan yang mengandung kebenaran (The Liang Gie).
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi
pengetahuanya selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui
serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu
pengetahuan selalu menuntut suatu subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui
tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal
yang ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu
manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu
objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek
tertentu.[4]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
setiap ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi setiap pengetahuan belum tentu
sebagai ilmu, kemudian syarat yang paling penting untuk keberadaan suatu
pengetahuan yang disebut ilmu adalah adanya objek, baik objek material maupun
objek formal. Pengetahuan yang bukan ilmu dapat saja berupa pengetahuan tentang
seni dan pengetahuan tentang moral.
Akal dipergunakan untuk mencari kebenaran sesuai dengan
kemampuan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menimbulkan logika yang
menjadikan kita seorang intelektual (pada puncak kepakaran akal dikenal sebagai
manusia ilmuwan) karena dapat membedakan mana yang salah atau benar secara
tepat.
Logika berasal dari perkataan yunani, yaitu “logikos”
yang berarti pengetahuan. Ilmu ataupun yang masuk akal yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan cara berfikir, dengan demikian logika merupakan suatu teknik
yang mementingkan segi formal ilmu pengetahuan, karena dalam logika kita harus
memperhatikan berbagai cara, aturan, teori dan metode agar suatu pernyataan
dinyatakan sah.
Apabila ilmu itu bebas dari nilai disebut sekular, maka
akan terjadi ketiraniaan karena nilai adalah gagasan berharga yang indah dan
baik. Seorang ilmuwan sekular dapat saja berkata benar tetapi tidak baik dan
indah. Contohnya ketika yang bersangkutan mengucapkan: “Agar tidak terkena
penyakit kelamin (HIV) maka pakailah kondom saat bersetubuh dengan
pelacur”. Perkataan ini benar secara
logika tetapi tidak baik secara moral dan tidak indah dalam seni bersosial.
Kata-kata tersebut lebih tidak bermoral bila diucapkan oleh seorang menteri
kesehatan, sebab antara logika, etika dan estetika harus berdialektika.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran
ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang
seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja
berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di
satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan
keburukan (ketidak benaran).
Seorang
murid Plato bernama Aristoteles, menjawab dengan pendapat bahwa kebenaran itu
subjektif sifatnya, artinya kebenaran bagi seseorang belum tentu benar bagi
yang lain, sehingga kemudian lahirlah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak.
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna
“kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun
langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan
pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari
keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli
dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak
bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi
steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat
oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.[5]
Yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam menemukan kebenaran tersebut ada perbedaan dari setiap individu baik cara maupun metode yang digunakan. Sehingga muncul sebuah perbedaan pula mengenai kriteria kebenaran.
Para pakar ilmu filsafat banyak menganggap benar bahwa pengetahuan terdiri:
1. Pengetahuan Akal (Logika).
2. Pengetahuan Budi (Etika).
3. Pengetahuan Indrawi (Estetika).
4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif).
5. Pengetahuan Intuitif.
Yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam menemukan kebenaran tersebut ada perbedaan dari setiap individu baik cara maupun metode yang digunakan. Sehingga muncul sebuah perbedaan pula mengenai kriteria kebenaran.
Para pakar ilmu filsafat banyak menganggap benar bahwa pengetahuan terdiri:
1. Pengetahuan Akal (Logika).
2. Pengetahuan Budi (Etika).
3. Pengetahuan Indrawi (Estetika).
4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif).
5. Pengetahuan Intuitif.
Pengetahuan akal
itu disebut ilmu yang kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan
budi disebut moral kemudian untuk membahasnya disebut etika, pengetahuan
indrawi disebut seni yang kemudian di sebut estetika, pengetahuan kepercayaan
disebut agama, tetapi dalam hal ini tidak boleh otoritatif karena agama tidak
memaksa, agama harus diterima secara logika, etika dan estetika dan agama itu
hanyalah islam yang terbukti kebenaranya, keindahanya dan kebaikanya. Jadi
titik temu antara logika, etika dan estetika adalah islam, oleh karena itu pengetahuan
intuatif kepada seseorang yang disebut nabi harus diuji terlebih dahulu seperti
halnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam
sejarah filsafat, terdapat beberapa kriteria teori
tentang kebenaran, antara lain:
1.
Teori Kebenaran Korespondensi (Teori Persesuaian).
Kebenaran korespondesi adalah
kebenaran yang bertumpu pada relitas
objektif. [6] Kesahihan
korespondensi itu memiliki pertalian yang
erat dengan kebenaran dan kepastian
indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila
yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi)
sesuai dengan fakta (kesan,
ide-ide) di lapangan.[7] Contohnya: ada seseorang
yang mengatakan bahwa Kabupaten
Ponorogo itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan
itu benar karena sesuai dengan kenyataan
atau realita yang ada. Tidak
mungkin Kabupaten Ponorogo di
Pulau Sumatra, Kalimantan atau bahkan
Papua.
2.
Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (Teori Keteguhan).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan
suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika.[8] Sederhannya, pernyataan
itu dianggap benar jika sesuai
(koheren/konsisten)
dengan pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Contohnya:
a.
Setiap manusia pasti akan mati. Lionel Messi adalah seorang manusia.
Jadi, Lionel Messi pasti akan mati.
b. Seluruh mahasiswa Fakultas
Tarbiyah INSURI Ponorogo di wajibkan mengikuti perkuliahan Pengantar Filsafat. Cristiano Ronaldo adalah
mahasiswa Fakultas Tarbiyah
INSURI Ponorogo. Jadi, Ronaldo harus mengikuti
kegiatan perkuliahan Pengantar
Filsafat.
3. Teori Kebenaran
Pragmatis/ Inherensi.
Teori ini menyatakan bahwa suatu kebenaran hanya dalam
salah satu konsekwensi saja. Kelemahan teori ini yaitu apabila
kemungkinan-kemungkinannya luas, oleh karena itu harus dipilih kemungkinannya
hanya dua dan saling bertolak belakang. Misalanya, semua yang teratur ada yang
mengatur, dalam hal ini kita tidak membicarakan yang tidak teratur, dari uraian
tersebut dapat difahami hanya ada dua kemungkinan yaitu ada yang mengatur atau
tidak ada yang mengatur, apabila diterima salah satu maka yang lain dicoret karna
bertolak belakang.
Contohnya lagi yaitu pengetahuan naik bis, kemudian akan
turun dan berkata kepada kondektur “kiri-kiri”, kemudian bis berhenti di posisi
kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, maka penumpang bis bisa turun dengan
selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan semata-mata dilihat karena bis berhenti
di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di
posisi kiri.[9]
4. Teori Kebenaran
Sintaksis.
Para
penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang di pakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang
melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari yang di
syaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang
diantara filsuf bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika
kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakn tidak baku atau bukan
kalimat. Seperti unkapan “semua korupsi”, ini bukan kalimat standar karena
tidak ada subjeknya.[10]
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal.
Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau
pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau
organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa,
PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru,
PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki
atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia.
D.
Yang Maha Benar
Puncak kebenaran itu sendiri sebenarnya adalah Allah Yang
Maha Benar (Al Haq), itulah sebabnya seseorang yang telah benar-benar menemukan
kebenaran dan keyakinan dalam beragama akan senantiasa mengucapkan
“Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah) pada setiap penemuan ilmiyahnya,
ataupun ketika selesai melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawabnya.
Sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa ilmu tidaklah
bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan
hanya karena penggabungan ilmu dan agama yang dalam perbincangan sehari-hari
biasanya disebut dengan istilah Imtaq (Iman dan Taqwa).
Seorang ilmuwan sekular bisa saja berkata bahwa agar
tidak terkena penyakit kelamin hendaklah memakai kondom bila bersetubuh dengan
pelacur. Pada kesempatan lain keberadaan pejabat pemerintah juga dapat dinilai
tidak baik tetapi benar menurut logika bila menjatuhkan hukuman mati kepada
pelaku kejahatan, lalu bagaimana dengan pelaku yang memperkosa anak kecil
kemudian menyilet wajahnya untuk kepuasan dan menghilangkan jejak, bagaimana
dengan pelaku kejahatan yang memperkosa ibu kandungnya sendiri tanpa rasa
kemanusiaan? Maka jawabanya hanyalah satu, yaitu MATI.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ilmu adalah setiap kesatuan pengetahuan dimana masing-masing bagian
bergantungan satu sama lain yang teratur secara pasti menurut azas-azas
tertentu. Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan
apabila seseorang mengenal sesuatu.
Setiap ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi
setiap pengetahuan belum tentu sebagai ilmu, syarat yang paling penting untuk
keberadaan suatu pengetahuan yang disebut ilmu adalah adanya objek, baik objek
material maupun objek formal.
2.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat berbagai sudut pandang untuk menilainya
yang diantaranya adalah: berdasarkan tingkat pengetahuan, berdasarkan luasnya
wilayah jangkauan dan prinsipnya. Sehingga lahirlah kajian pokok ilmu
pengetahuan, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
3.
Akal digunakan untuk mencari kebenaran sesuai ilmu pengetahuan yang
dimiliki, sehingga dapat membedakan antara yang benar dan salah.
4.
Pengetahuan akal disebut ilmu (logika), pengetahuan budi disebut moral
(etika), pengetahuan indrawi disebut seni (estetika), sedangkan pengetahuan
kepercayaan disebut agama. Dan untuk menilai sesuatu benar atau tidak maka
dapat di lihat dari berbagai teori yang diantaranya adalah: Teori korespondensi,
koherensi, pragmatis, sintaksis dan performatif.
5.
Dalam hidup ini, setiap manusia pastinya mencari kebenaran baik dalam
bentuk majazi maupun yang haqiqi. Dan hakikat dari semua kebenaran itu adalah
Allah SWT.
B.
Saran
Kebenaran menurut setiap individu dapat berbeda-beda, tergantung sudut pandang dan metode yang digunakan oleh individu tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan
tiga bentuk eksistensi, yaitu ilmu
pengetahuan, filsafat kebenaran dan agama.
Dari
uraian di atas dapat kita tarik sebuah tali simpul bahwasanya di dalam ilmu
pengetahuan dan kebenaran banyak hal-hal yang harus di perhatikan dan saling
berkaitan. Dengan demikian kita sebagai
manusia dan khususnya sebagai mahasiswa sangatlah penting untuk lebih memahami,
mengerti dan merasakan secara mendalam tentang sebuah kebenaran.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, dimana kami pun
sadar bahwasannya dalam mengemban amanat ini tidaklah luput dari kesalahan dan
kekurangan sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah Azza wa-Jalla, sehingga
dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan senantiasa kami
nanti dalam upaya evaluasi diri.
Harapan kami, bahwa dibalik
ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini dapat ditemukan sesuatu yang
dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi
kami, pembaca, khususnya mahiswa-mahasiswi Fakulatas Tarbiyah PAI 1B INSURI Ponorogo,
dan bagi seluruh pembaca sekalian. amin
ya Rabbal ‘alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i, Inu kencana. Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama, 2004.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat
Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata:
Pustaka Sinar harapan, 1990.
Surajio, Filsafat
Ilmu & Perkembanganya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
[1] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 151.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1985) 34.
[3] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 152.
[4] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di
Indonesia,(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 26.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta: Gramedia, 1985), 235.
[6] Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk
beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan. 7.
[7] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. 122.
[8] Drs. H. Moh. Adib. “Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan”. 121.
[9] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 106.
[10] Drs.Surajio, Filsafat Ilmu & Perkembanganya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar